Selasa, 14 Juni 2016

Kampung Pedagang Warteg di Tegal, Semua Rumah Mewah! - Let Share, Ayo Bagikan!


''Kami tidak bisa asal menaikkan harga menu. Sebab, pelanggan warteg itu rakyat kecil,'' jelasnya. 
Sistem pengelolaan warteg juga termasuk unik. Ada yang setiap tiga bulan hingga empat bulan dikelola secara bergantian.
Hanya, yang mengelola tersebut masih ada hubungan keluarga. Sehingga, rezeki masih berputar di antara mereka. 
Makanan yang ditawarkan cukup sederhana karena seperti masakan rumahan. Ada sayur lodeh, sup, tumis, tahu, tempe, telor goreng atau rebus dan juga ayam goreng. 
Sementara, minumannya teh manis, es teh, maupun es jeruk paling banyak dijumpai. Belum lagi ada pisang goreng maupun tahu isi. 
Selain mampu membangun rumah mewah, beberapa pemilik warteg di Jakarta bisa juga menjalankan ibadah haji. Namun, biasanya, mereka itu sudah melakoni bisnis tersebut sudah lama. 
Mayoritas warga Jakarta yang memang berasal dari kampung merupakan satu alasan banyaknya pengunjung warteg. Sehingga, bisnis warteg dianggap sebuah hal yang menjanjikan untuk mengais rupiah. 
Sayang, bisnis warteg belum merambah ke kota lain. Mereka masih berkutat di Jakarta. 
Di ibu kota, jumlahnya bisa mencapai ribuan dan tersebar di berbagai pelosok. Bahkan, tak ada 100 meter, sudah berdiri warung sejenis. 
Sementara, di kota besar lainnya seperti Surabaya (Jawa Timur), Medan (Sumatera Utara) maupun Makassar (Sulawesi Selatan) kurang berkembang.


Kehidupan para pengusaha Warung Tegal di Jakarta memang serba apa adanya. Namun tidak demikian dengan kehidupan di desanya. Seperti di Desa Sidapurna dan Desa Sidakaton, Kecamatan Dukuhturi, Kabupaten Tegal, yang merupakan daerah asalnya.

Di daerah ini rumah para pengusaha warteg rata-rata bertingkat megah dengan arsitektur modern layaknya perumahan elit di Pondok Indah, Jakarta Selatan. Jalanan pun diaspal mulus. Orang yang baru menginjakkan kaki di dua desa tersebut pasti akan berdecak kagum.

Ya, rumah-rumah mewah itu milik para pedagang Warteg yang merantau di kota-kota besar seperti Jakarta. Namun sayangnya, rumah-rumah itu kerap ditinggalkan tanpa penghuni dan hanya beberapa kali ditempati, seperti saat Lebaran tiba.

50 Persen warga di desa ini memang berkecimpung dalam bisnis warung nasi murah meriah itu. Tidak heran desa ini kemudian dikenal dengan sebutan kampung warteg.



Sumber : berbagai sumber 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

2,5 Persen Saja

“Intinya setiap harta yang kita miliki, wajib kita zakati. Sesuai dengan apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW”. Terang Pak Aji di ...